Pada dasarnya saya setuju - setuju aja ada aksi semacam ini, karena memang yang tidak bersalah juga pantas dibela kan ? apalagi pembelaan dari rekan seprofesinya, se-Indonesia pula. Hebat! :)
Sudah 4 hari
berlalu dari saat dilaksanakannya aksi solidaritas dokter Indonesia. Timeline
social media saya masih saja dipenuhi oleh respons masyarakat mengenai hal ini.
Ada yang menghujat dokter besar-besaran, ada yang mempertanyakan maksud dokter
menggelar aksi ini, ada yang akhirnya malah bertengkar satu sama lain. Tak
sedikit mereka yang berlomba-lomba memberikan 'testimoni' pengalaman
mengecewakan dengan dokter sebelumnya. Hampir semua bersikap negatif terhadap
dokter. Jangankan masyarakat, pejabat pun seperti berebut panggung mengomentari
aksi dokter, tentunya dengan komentar yang tak kalah negatif. Ini pun diperparah
oleh media yang kompak memberitakan sisi buruk dokter. Bahkan saat sedang
panas-panasnya, stasiun televisi swasta pertama di Indonesia justru dengan
sengaja malah memutarkan film lepas tak bermutu tentang dokter yang berhati
jahat. Entah apa tujuannya. Sengaja menyiramkan bensin ke nyala api? Entahlah,
wallahualam.
Saya mendapat beberapa pertanyaan yang masuk ke dalam inbox email saya atau lewat Facebook. Saya pikir sepertinya akan lebih berguna jika saya tulis di blog agar bisa dibaca orang banyak. Semoga bisa memberikan pencerahan. Saya mohon, sebelum membaca, tak usahlah emosi atau negative thinking dulu. Ingat, marah dan emosi dekat dengan setan. Apakah ada gunanya jika anda memaki lewat komentar? Apakah akan ada yang berubah setelah anda bersikap kasar? For every minute you are angry, you lose 60 seconds of happiness:)
Ini adalah beberapa pernyataan dan komentar yang sliweran di timeline saya:)
1. Dokter-dokter ini gila semua ya. Masa ngebelain satu orang salah aja sampe segitunya pake demo segala. Arogan banget, ngerasa dewa kali bisa kebal hukum. (Seriously, ada teman saya di Path yang nulis begini.)
Begini, kami sama sekali engga meminta kekebalan hukum. Dokter pun manusia juga, bisa lalai. Kalau memang lalai dan karena kelalaiannya ini sampai menyebabkan meninggalnya seseorang, wajarlah kalau dihukum. Kami pun setuju. Pernah mendengar kasus aborsi oleh dokter? Atau kasus tertinggalnya alat operasi di tubuh pasien setelah operasi? Toh, setelah itu dokter ybs dihukum, kami engga masalah, engga membela. Kami mendukung hukum Indonesia. Wong memang salah kok. Tapi, kalau seorang dokter telah melakukan semua sesuai standar prosedur, TIDAK LALAI, tapi karena pasiennya meninggal kemudian dituntut dibilang MALPRAKTIK, itulah yang kami tidak setuju. Bagaimana bisa? Apakah gagal menjadi Tuhan adalah malpraktik? Coba baca lagi definisi malpraktik:)
2. Okelah, semua sesuai standar prosedur. Tapi kan katanya tandatangan di informed consent dipalsuin. Itu kan engga bener? Tetep salah tuh dokternya!
Sudah lihat acara Hitam Putih edisi tanggal 28 November 2013? Kalau belum, lihat di Youtube ya. Disana Deddy Corbuzier sebagai host dengan smartnya dapat membuka "misteri" ini. Awalnya saat ditanya apakah ibu pasien menandatangani surat persetujuan untuk operasi, ibu pasien menjawab tidak pernah. Setelah ditanya lagi, ibu pasien tadi menjawab tandatangan, tapi tidak dijelaskan untuk apa. Menurut saya, seseorang yang sudah dewasa, sehat jiwanya, apakah wajar memberikan tandatangan di atas surat resmi begitu saja tanpa membaca isinya atau menanyakan apa maksudnya? Buat saya plin-plannya sang ibu dalam menjawab pertanyaan sesederhana "Apa sudah menandatangani surat persetujuan?" sungguh sangat mencurigakan. Saya mengacungkan empat jempol saya buat Deddy Corbuzier untuk kelihaiannya mencari fakta. Smart! Oh ya, lagi pula nih, seandainya tidak ada informed consent pun, segala tindakan untuk keadaan gawat darurat SAH di mata hukum.
3. Katanya dokter berpendidikan. Kok menyampaikan pendapat pake cara yang norak sih? Mbok ya mikir cara lainnya.
Ask before you judge. Setahu saya, kami sudah melakukan segala cara termasuk meminta PK. Tapi tidak ada responnya sampai sekarang. Meskipun pahit, akhirnya kami memutuskan cara ini untuk mendesak pemerintah. Tapi bisa dilihat sendiri kan ya, bahkan setelah riuh rendah, orang nomor satu di negara ini tetap adem ayem. Tidak ada responnya sama sekali.
4. Tapi kan rakyat yang ditelantarkan? DImana hati nuraninya? Ingat sumpah dokternya!
Saya senyum-senyum sendiri membaca komentar macam ini. Apa yang menulis ini tahu benar isi sumpah kami? Tak perlulah bawa-bawa hati nurani kami. TIDAK ADA rakyat yang ditelantarkan. Pelayanan tetap jalan, pasien emergency tetap dilayani. Pasien rawat jalan pun hanya ditunda beberapa saat. Ada yang bilang "Iya terserahlah ditunda berapa lama, 5 menit kek, 10 menit kek, 25 menit atau 2 jam, nyawa kan berharga sekali. 5 menit untuk nyawa itu sangat berharga!" Iya, kami tahu kok. Time saving is life saving. Makanya pelayanan emergency di UGD masih dibuka. Ngomong-ngomong, yang nulis begini tahu engga sih pasien rawat jalan itu yang seperti apa? Nih sekalian saya jelaskan ya. Pasien rawat jalan tuh misalnya yang sakit batuk, pilek karena common cold, panu, gatal-gatal atau penyakit ringan lain. Apakah common cold jika diundur sehari pengobatannya bisa mematikan?Setiap Sabtu dan Minggu, rawat jalan libur tapi kenapa tidak pernah diprotes atau masuk koran? Saat libur panjang lebaran, rawat jalan juga libur panjang, tapi kenapa tidak pernah jadi headline?:p
5. Itu buktinya di media ditulis begitu. Sampai ada yang menulis "Dokter Mogok, Pasien Melahirkan di Toilet Puskesmas." atau "Dokter Demo, Anak Gizi Buruk". Pokoknya memang dokter-dokter sekarang itu keterlaluan!
Lagi-lagi, saat membaca tulisan begini, saya senyum manis semanis madu *halah*:)))
Pertama, tahukah anda, di Puskesmas, pasien yang melahirkan MEMANG ditangani oleh bidan. Dokter di Puskesmas bertugas di poli umum menangani pasien lain. Saya pernah bertugas di Puskesmas, dan selama itu pula setiap ada orang hamil melahirkan, semuanya ditangani oleh bidan. Kenapa di toilet? Buat yang pernah melahirkan, seharusnya mengerti terkadang mulas saat mau melahirkan tak bisa dibedakan dengan mulas saat mau ke kamar mandi. Saya yakin, banyak kok orang yang pernah melahirkan di kamar mandi, terlepas ada atau tidak dokternya. Jangan lebay;)
Kedua, yang menulis mengerti definisi gizi burukkah? Gizi buruk adalah keadaan yang kronis, yang lama berlangsung. Lah masa dalam sehari bisa gizi buruk? Ibaratnya, ada anak bayi sehat, usia 1 tahun berat badan 12 kg, kemudian karena dokternya aksi, langsung susut beratnya jadi 6 kg? Tidak masuk akal kan?:))))
6. Tapi memang benar dokter itu menyebalkan. Saya pernah mengantar saudara sakit di Singapore. Disana kami didampingi dokternya 24 jam, dokter selalu siap sedia di samping. Di Indonesia boro-boro!
Please, be fair:) Kalau anda ingin membandingkan pelayanan dokter di Indonesia dengan di SIngapore atau di negara maju lainnya, bandingkan pula sistem kesehatan yang berlaku di kedua negara. Saya sempat magang sebagai dokter internship di Aarhus Hospital, Denmark di bagian Bedah Syaraf. Di unit rawat jalan, pasien harus membuat appointment dulu sebelum datang, dan dibatasi maksimal hanya 5 orang pasien setiap hari. Satu orang pasien mendapat kesempatan 45 menit untuk bertemu dokternya. Sebagai dokter, saya juga senang dengan kondisi ini. Saya bisa menganamnesis atau bertanya sampai jelas, melakukan pemeriksaan fisik seteliti mungkin, dan menjelaskan penyakit sedetail-detailnya. Pasien senang, dokter pun puas. Di Indonesia? Jangan ditanya. Setiap hari, di unit rawat jalan, ada ratusan pasien yang menunggu dengan jumlah dokter yang terbatas. Setiap hari, rata-rata saya melayani 40-50 pasien. Kalau semua minta waktu 45 menit, ya hitung saja 50x45 menit:D
Di Denmark, saat ada pasien rawat inap yang akan dioperasi, ada satu dokter yang bertanggungjawab sampai pasien tadi pulang. Satu dokter bertanggungjawab hanya untuk satu pasien. Di Indonesia, satu dokter bertanggungjawab untuk puluhan pasien. Mungkin tidak? Lalu salah siapa? Salah dokternya? Salah pasiennya? Atau salah sistemnya?
7. Dokter sekarang sering malpraktik. Saya pernah sakit panas, pulang diresepi banyak obat. Ya engga saya minum. Udah gila kali tu dokter! Waktu itu anak saya juga pernah sakit, diberi obat. Saya tanya ke rekan saya dokter di kota lain, katanya dosisnya kebanyakan. Untung ga jadi saya minumin obatnya. Saya juga pernah tuh ke dokter, engga diapa-apain, periksa juga engga tapi langsung tulis resep.
Tolong jangan digeneralisasi. Seperti profesi lain, dokter pun pasti punya "oknum". Saya tidak menutup mata, memang ada oknum yang tidak benar. Tapi tidak semua kan? Sekarang introspeksi diri sendiri dulu deh. Protes saat datang ke dokter tidak diperiksa langsung diberi obat, tapi masih sering memention dokter di twitter untuk bertanya "Kalau sakit ini obatnya apa dok?". Protes saat dokter memberi banyak obat, tapi tidak pernah bertanya pada dokter ybs kenapa diberi obat sebanyak ini. Oh ya, kasus yang kebanyakan dosis itu juga menurut saya belum tentu benar. Pertama, dokter yang di luar kota tadi kan tidak memeriksa sendiri pasiennya. Bagaimanapun juga dokter yang memeriksa sendiri akan lebih tahu dibanding yang hanya diceritakan lewat telepon atau BBM. Kedua, dosis obat itu untuk anak ada rangenya. Bukan harga mati. Contohnya, dosis Paracetamol untuk anak adalah 10-15 mg/kg. Biasanya dosis yang diberikan adalah 10 mg/kg supaya lebih mudah menghitungnya. Tapi apakah saya salah kalau memberikan dosis 12 mg/kg? Atau 14 mg/kg? Toh masih dalam range aman. Medical is art. Kalau tidak tahu, tanyakan ke yang meresepi. Bukan ke orang lain. Ask first, dont judge.
8. Dokter itu mata duitan semua. Saya pernah mengantar tetangga saya sakit ke rumah sakit menggunakan Jamkesmas yang katanya gratis semua, eh tetap disuruh beli obat di apotik luar. Pantes aja kaya raya! Pasti biar dibayar pabrik obat.
Apakah yang menulis ini pernah bekerja di Rumah Sakit? Begini, coba sebelumnya lihat dulu beberapa tulisan hasil googling saya berikut:
Saya mendapat beberapa pertanyaan yang masuk ke dalam inbox email saya atau lewat Facebook. Saya pikir sepertinya akan lebih berguna jika saya tulis di blog agar bisa dibaca orang banyak. Semoga bisa memberikan pencerahan. Saya mohon, sebelum membaca, tak usahlah emosi atau negative thinking dulu. Ingat, marah dan emosi dekat dengan setan. Apakah ada gunanya jika anda memaki lewat komentar? Apakah akan ada yang berubah setelah anda bersikap kasar? For every minute you are angry, you lose 60 seconds of happiness:)
Ini adalah beberapa pernyataan dan komentar yang sliweran di timeline saya:)
1. Dokter-dokter ini gila semua ya. Masa ngebelain satu orang salah aja sampe segitunya pake demo segala. Arogan banget, ngerasa dewa kali bisa kebal hukum. (Seriously, ada teman saya di Path yang nulis begini.)
Begini, kami sama sekali engga meminta kekebalan hukum. Dokter pun manusia juga, bisa lalai. Kalau memang lalai dan karena kelalaiannya ini sampai menyebabkan meninggalnya seseorang, wajarlah kalau dihukum. Kami pun setuju. Pernah mendengar kasus aborsi oleh dokter? Atau kasus tertinggalnya alat operasi di tubuh pasien setelah operasi? Toh, setelah itu dokter ybs dihukum, kami engga masalah, engga membela. Kami mendukung hukum Indonesia. Wong memang salah kok. Tapi, kalau seorang dokter telah melakukan semua sesuai standar prosedur, TIDAK LALAI, tapi karena pasiennya meninggal kemudian dituntut dibilang MALPRAKTIK, itulah yang kami tidak setuju. Bagaimana bisa? Apakah gagal menjadi Tuhan adalah malpraktik? Coba baca lagi definisi malpraktik:)
2. Okelah, semua sesuai standar prosedur. Tapi kan katanya tandatangan di informed consent dipalsuin. Itu kan engga bener? Tetep salah tuh dokternya!
Sudah lihat acara Hitam Putih edisi tanggal 28 November 2013? Kalau belum, lihat di Youtube ya. Disana Deddy Corbuzier sebagai host dengan smartnya dapat membuka "misteri" ini. Awalnya saat ditanya apakah ibu pasien menandatangani surat persetujuan untuk operasi, ibu pasien menjawab tidak pernah. Setelah ditanya lagi, ibu pasien tadi menjawab tandatangan, tapi tidak dijelaskan untuk apa. Menurut saya, seseorang yang sudah dewasa, sehat jiwanya, apakah wajar memberikan tandatangan di atas surat resmi begitu saja tanpa membaca isinya atau menanyakan apa maksudnya? Buat saya plin-plannya sang ibu dalam menjawab pertanyaan sesederhana "Apa sudah menandatangani surat persetujuan?" sungguh sangat mencurigakan. Saya mengacungkan empat jempol saya buat Deddy Corbuzier untuk kelihaiannya mencari fakta. Smart! Oh ya, lagi pula nih, seandainya tidak ada informed consent pun, segala tindakan untuk keadaan gawat darurat SAH di mata hukum.
3. Katanya dokter berpendidikan. Kok menyampaikan pendapat pake cara yang norak sih? Mbok ya mikir cara lainnya.
Ask before you judge. Setahu saya, kami sudah melakukan segala cara termasuk meminta PK. Tapi tidak ada responnya sampai sekarang. Meskipun pahit, akhirnya kami memutuskan cara ini untuk mendesak pemerintah. Tapi bisa dilihat sendiri kan ya, bahkan setelah riuh rendah, orang nomor satu di negara ini tetap adem ayem. Tidak ada responnya sama sekali.
4. Tapi kan rakyat yang ditelantarkan? DImana hati nuraninya? Ingat sumpah dokternya!
Saya senyum-senyum sendiri membaca komentar macam ini. Apa yang menulis ini tahu benar isi sumpah kami? Tak perlulah bawa-bawa hati nurani kami. TIDAK ADA rakyat yang ditelantarkan. Pelayanan tetap jalan, pasien emergency tetap dilayani. Pasien rawat jalan pun hanya ditunda beberapa saat. Ada yang bilang "Iya terserahlah ditunda berapa lama, 5 menit kek, 10 menit kek, 25 menit atau 2 jam, nyawa kan berharga sekali. 5 menit untuk nyawa itu sangat berharga!" Iya, kami tahu kok. Time saving is life saving. Makanya pelayanan emergency di UGD masih dibuka. Ngomong-ngomong, yang nulis begini tahu engga sih pasien rawat jalan itu yang seperti apa? Nih sekalian saya jelaskan ya. Pasien rawat jalan tuh misalnya yang sakit batuk, pilek karena common cold, panu, gatal-gatal atau penyakit ringan lain. Apakah common cold jika diundur sehari pengobatannya bisa mematikan?Setiap Sabtu dan Minggu, rawat jalan libur tapi kenapa tidak pernah diprotes atau masuk koran? Saat libur panjang lebaran, rawat jalan juga libur panjang, tapi kenapa tidak pernah jadi headline?:p
5. Itu buktinya di media ditulis begitu. Sampai ada yang menulis "Dokter Mogok, Pasien Melahirkan di Toilet Puskesmas." atau "Dokter Demo, Anak Gizi Buruk". Pokoknya memang dokter-dokter sekarang itu keterlaluan!
Lagi-lagi, saat membaca tulisan begini, saya senyum manis semanis madu *halah*:)))
Pertama, tahukah anda, di Puskesmas, pasien yang melahirkan MEMANG ditangani oleh bidan. Dokter di Puskesmas bertugas di poli umum menangani pasien lain. Saya pernah bertugas di Puskesmas, dan selama itu pula setiap ada orang hamil melahirkan, semuanya ditangani oleh bidan. Kenapa di toilet? Buat yang pernah melahirkan, seharusnya mengerti terkadang mulas saat mau melahirkan tak bisa dibedakan dengan mulas saat mau ke kamar mandi. Saya yakin, banyak kok orang yang pernah melahirkan di kamar mandi, terlepas ada atau tidak dokternya. Jangan lebay;)
Kedua, yang menulis mengerti definisi gizi burukkah? Gizi buruk adalah keadaan yang kronis, yang lama berlangsung. Lah masa dalam sehari bisa gizi buruk? Ibaratnya, ada anak bayi sehat, usia 1 tahun berat badan 12 kg, kemudian karena dokternya aksi, langsung susut beratnya jadi 6 kg? Tidak masuk akal kan?:))))
6. Tapi memang benar dokter itu menyebalkan. Saya pernah mengantar saudara sakit di Singapore. Disana kami didampingi dokternya 24 jam, dokter selalu siap sedia di samping. Di Indonesia boro-boro!
Please, be fair:) Kalau anda ingin membandingkan pelayanan dokter di Indonesia dengan di SIngapore atau di negara maju lainnya, bandingkan pula sistem kesehatan yang berlaku di kedua negara. Saya sempat magang sebagai dokter internship di Aarhus Hospital, Denmark di bagian Bedah Syaraf. Di unit rawat jalan, pasien harus membuat appointment dulu sebelum datang, dan dibatasi maksimal hanya 5 orang pasien setiap hari. Satu orang pasien mendapat kesempatan 45 menit untuk bertemu dokternya. Sebagai dokter, saya juga senang dengan kondisi ini. Saya bisa menganamnesis atau bertanya sampai jelas, melakukan pemeriksaan fisik seteliti mungkin, dan menjelaskan penyakit sedetail-detailnya. Pasien senang, dokter pun puas. Di Indonesia? Jangan ditanya. Setiap hari, di unit rawat jalan, ada ratusan pasien yang menunggu dengan jumlah dokter yang terbatas. Setiap hari, rata-rata saya melayani 40-50 pasien. Kalau semua minta waktu 45 menit, ya hitung saja 50x45 menit:D
Di Denmark, saat ada pasien rawat inap yang akan dioperasi, ada satu dokter yang bertanggungjawab sampai pasien tadi pulang. Satu dokter bertanggungjawab hanya untuk satu pasien. Di Indonesia, satu dokter bertanggungjawab untuk puluhan pasien. Mungkin tidak? Lalu salah siapa? Salah dokternya? Salah pasiennya? Atau salah sistemnya?
7. Dokter sekarang sering malpraktik. Saya pernah sakit panas, pulang diresepi banyak obat. Ya engga saya minum. Udah gila kali tu dokter! Waktu itu anak saya juga pernah sakit, diberi obat. Saya tanya ke rekan saya dokter di kota lain, katanya dosisnya kebanyakan. Untung ga jadi saya minumin obatnya. Saya juga pernah tuh ke dokter, engga diapa-apain, periksa juga engga tapi langsung tulis resep.
Tolong jangan digeneralisasi. Seperti profesi lain, dokter pun pasti punya "oknum". Saya tidak menutup mata, memang ada oknum yang tidak benar. Tapi tidak semua kan? Sekarang introspeksi diri sendiri dulu deh. Protes saat datang ke dokter tidak diperiksa langsung diberi obat, tapi masih sering memention dokter di twitter untuk bertanya "Kalau sakit ini obatnya apa dok?". Protes saat dokter memberi banyak obat, tapi tidak pernah bertanya pada dokter ybs kenapa diberi obat sebanyak ini. Oh ya, kasus yang kebanyakan dosis itu juga menurut saya belum tentu benar. Pertama, dokter yang di luar kota tadi kan tidak memeriksa sendiri pasiennya. Bagaimanapun juga dokter yang memeriksa sendiri akan lebih tahu dibanding yang hanya diceritakan lewat telepon atau BBM. Kedua, dosis obat itu untuk anak ada rangenya. Bukan harga mati. Contohnya, dosis Paracetamol untuk anak adalah 10-15 mg/kg. Biasanya dosis yang diberikan adalah 10 mg/kg supaya lebih mudah menghitungnya. Tapi apakah saya salah kalau memberikan dosis 12 mg/kg? Atau 14 mg/kg? Toh masih dalam range aman. Medical is art. Kalau tidak tahu, tanyakan ke yang meresepi. Bukan ke orang lain. Ask first, dont judge.
8. Dokter itu mata duitan semua. Saya pernah mengantar tetangga saya sakit ke rumah sakit menggunakan Jamkesmas yang katanya gratis semua, eh tetap disuruh beli obat di apotik luar. Pantes aja kaya raya! Pasti biar dibayar pabrik obat.
Apakah yang menulis ini pernah bekerja di Rumah Sakit? Begini, coba sebelumnya lihat dulu beberapa tulisan hasil googling saya berikut:
Program Jamkesmas diluncurkan tahun 2008 menggantikan program Asuransi Kesehatan untuk Keluarga Miskin, yang memungkinkan masyarakat miskin memperoleh akses layanan kesehatan dengan pembayaran oleh pemerintah ke puskesmas dan rumah sakit. Lihat sendiri tuh, pemerintah berhutang hampir 2 triliun rupiah. Akibat penunggakan dana ini, sejumlah rumah sakit menghadapi persoalan, seperti penambahan pasokan obat dan pembiayaan tenaga medis. Engga usah ngomongin pembiayaan tenaga medislah ya, biar itu menjadi masalah kami saja. Tapi soal pasokan obat? Obat-obatan yang digadang-gadang gratis semua dari pemerintah kalau habis bagaimana? Wong yang sebelumnya saja masih nunggak. Makanya saya kadang bingung juga, caleg-caleg yang gembar-gembor kalau terpilih akan membuat pelayanan kesehatan gratis itu apa kabarnya ya? Mau membayar tunggakan hampir 2 triliun ini? Tanggung jawab ke yang memilih ya, sama Yang Di Atas:p
Oh ya, yang berpikiran dokter jualan obat, jangan negative thinking lagi ya. Dont judge before you really know.
9. Tapi kan benar dokter sering bekerja sama dengan farmasi. Tetangga saya ada yang dokter bisa tuh jalan-jalan ke Eropa, beli mobil mewah, pasti dibayarin obat kan tuh! Kalau saya dateng ke praktik dokter suka banyak tuh detailer atau tukang obat yang sliweran.
Dengan kerja keras yang 24/7, pantas dong ya kalau dokter bisa mengumpulkan uang lebih banyak? Yang namanya rejeki sudah diatur kan? Seharusnya sebagai makhluk yang percaya akan kuasa Tuhan, tidak perlulah "mengurusi" rejeki orang lain. Masalah kerja sama dengan pabrik farmasi, menurut saya pribadi, selama dokter meresepkan obat secara rasional, kemudian pabrik farmasi ybs memberi penghargaan pada dokter tsb ya tidak masalah. Memang apa salahnya? Buat saya, yang salah itu kalau "oknum" dokter rajin meresepkan obat yang tidak perlu atau tidak rasional untuk pasien hanya demi kejar setoran pada pabrik farmasi. Toh, dokter dan farmasi memang sama-sama membutuhkan. Kalau dokter tidak mengerti isi kandungan merk suatu obat, bagaimana bisa meresepkan? Sekali lagi, please dont judge.
10. Masa media sekelas **** *** atau ****** atau ******* menyebarkan berita bohong sih? Bukan dokternya nih yang bohong? Kan ada kode etik profesi wartawan.
Saya tidak pernah bilang media berbohong. Semua yang diberitakan benar adanya, walaupun mungkin tidak ada hubungannya. Saya juga bekerja di media dan tahu benar bagaimana cara memberitakan sesuatu. Cari point of interest, kemudian blow-up. Kalau bisa dengan judul yang menghebohkan agar bernilai jual tinggi. Sayangnya, nilai jual tinggi di Indonesia biasanya adalah yang kontroversial atau berita negatif. Lihat saja infotainment yang menguliti hal-hal negatif dari pribadi para artis. Laris maniiiis tanjung kimpul! Contohnya nih ya, ada headline yang bilang "Dokter Mogok, Anak Gizi Buruk." Saya yakin tidak ada yang berbohong. Dokter Mogok--pernyataan benar. Anak Gizi Buruk--pernyataan benar. Sayangnya tidak berhubungan:) Masyarakat yang tidak mengerti tentu menelan mentah-mentah pemberitaan ini dan membuat asumsi pribadi kalau kedua pernyataan ini PASTI berhubungan -which is not-. Jadilah opini publik sukses digiring media massa, Belum lagi media elektronik. Duh saya kecewa sekali dengan kebanyakan presenter talkshow beberapa televisi yang hobi memotong pembicaraan narasumber dan menggiring opini publik, sayangnya ke arah yang salah. Saya tahu sih alasannya, lagi-lagi karena rating. Sekarang pintar-pintarnya masyarakat sajalah, mau digiring ke arah mana;)
Percayalah, kami memperjuangkan apa yang layak kami perjuangkan. Bukan untuk kami pribadi tapi untuk masyarakat Indonesia umumnya. Bayangkan, sekarang dengan kasus ini, kami merasa "takut" memutuskan apa pun bila tidak ada informed consent yang ditandatangani keluarga. Lagi-lagi siapa yang rugi? Pemerintah? Dokternya? Atau masyarakat?
Seandainya nih, ada satu pasien datang karena kecelakaan lalu lintas dalam keadaan tidak sadar dan terluka parah, membutuhkan operasi secepatnya. Dompet tempat identitas disimpan tidak ditemukan, pasien datang hanya diantar polisi. Tidak ada handphone atau pengenal apa pun. Sebelum ada kasus ini, saya yakin semua dokter pasti tidak akan berpikir dua kali. Langsung operasi untuk menyelamatkan nyawa pasien. Kami pun tidak tahu bagaimana hasilnya kelak, meninggal atau tidak ada di tangan Pemilik Usia. Tapi yang kami tahu, apapun yang terjadi, usaha harus tetap dilakukan. Sekarang, setelah ada kasus ini? Beda lagi ceritanya. Jangan-jangan kalau kami mengoperasi pasien kemudian meninggal, kami dituntut? Jangan-jangan kalau nanti pasiennya meninggal, karena tidak ada informed consent yang ditandatangani keluarga kami dipenjara? Jangan-jangan kalau nanti pasiennya meninggal, kami dicacimaki seluruh Indonesia dituduh malpraktik? Apa sebaiknya dibiarkan saja? Menunggu ada keluarga yang melapor kehilangan anggotanya? Sudah telat, tentunya. Apa sebaiknya dibiarkan meninggal begitu saja? Bagaimana menurut anda?:)
Saya masih akan mengupdate list pernyataan ini kelak. Saya ingat-ingat dulu deh apa saja. Saya menulis ini untuk konfirmasi, apa yang sebenarnya terjadi. Semoga bisa meredam panasnya situasi yang ada sekarang antara dokter dengan masyakat.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan satu cerita untuk direnungi. Semoga bermanfaat!:)
A 24 year
old boy seeing out from the train's window shouted " Dad, look the trees
are going behind!". His dad smiled. A young couple sitting nearby, looked
at the 24 year old's childish behavior with pity. Suddenly he again exclaimed.
"Daaaad, look the clouds are running with us!".The couple couldn't
resist and said to the old man. "Why dont you take your son to a good
doctor?" The old man smiled and said "I did. We are just coming from
hospital. My son was blind from birth, he just got his eyes today.(Source: NN).
sumber : http://www.metahanindita.com/2013/12/konfirmasi-aksi-dokter.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar